Rabu, 20 Juni 2012

Tugas Individu Pengembangan Sumber Belajar


Makalah
Penggunaan Multimedia dalam Pembelajaran
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Pengembangan Sumber Belajar
Dosen Pengampu : Dosen : DR.Samsudin, M.Pd
Dikumpulkan : 16 Juni 2012


 
















Nama Mahasiswi :
Sri Kartini(NIM :5520110019)
Program Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Islam Assyafi’iyah
Jakarta
2012





PENGGUNAAN MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN

BAB  I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Inovasi di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan.  Di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning, dan sebagaimya.
Penerapan inovasi yang dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Kemajuan di bidang teknologi pendidikan (educational technology), maupun teknologi pembelajaran (instructional technology) menuntut digunakannya berbagai media pembelajaran (instructional media) serta peralatan-peralatan yang semakin canggih (sophisticated). Melalui memanfaatkan teknologi multimedia, dalam batas-batas tertentu akan dapat memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik, dan meningkatkan kualitas pembelajaran dalam rangka meningkatkan ketercapaian kompetensi
Sementara itu realitas yang ada dan terjadi terjadi di lapangan, ada kesan bahwa kemampuan guru masih rendah. Sebagian besar dari mereka masih berpredikat sebagai pelaksana kurikulum, bahkan di antara kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan lebih bersifat rutinitas. Guru belum siap menghadapi berbagai perubahan, di samping terbatasnya akses pada materi pembelajaran mutakhir. Motivasi dan kesiapan belajar peserta didik juga rendah. Kurangnya waktu belajar, lingkup materi yang sangat luas, serta laju/akselerasi perubahan (change) di bidang ilmu, teknologi dan seni berjalan begitu cepat. Realitas di lapangan yang menunjukkan adanya keterbatasan media pembelajaran baik jenis maupun jumlahnya, serta kemampuan guru memanfaatkan media masih kurang. Suasana kelas kurang memotivasi peserta didik melakukan kegiatan belajar. Demikian juga interaksi pembelajaran belum optimal.
Kemampuan guru masih sangat perlu untuk senantiasa ditingkatkan kualitasnya, terutama jika dikaitkan dengan tuntutan tugas guru di era globaliasi saat ini yang ditandai oleh semakin meluasnya penggunaan teknologi multimedia. Permasalahan yang harus segera dipecahkan adalah: bagaimana upaya meningkatkan kualitas pembelajaran geografi melalui pemanfaatan teknologi multimedia Jika para guru mampu memanfaatkan, lebih-lebih mengembangkan pembelajaran yang berbasis teknologi multimedia maka dipastikan mutu pembelajaran akan meningkat lebih baik, terutama jika dikaitkan dengan era saat ini yang dicirikan oleh teknologi informasi. Dengan demikian, para guru lebih memiliki kompetensi mengajar sesuai tuntutan era teknologi informasi dan mendukung optimalisasi pembelajaran.

1.2    Rumusan Masalah
Apa manfaat penggunaan Multimedia dalam pembelajaran

1.3    Tujuan Penyusunan
Mendeskripsikan manfaat  Penggunaan Multimedia dalam pembelajaran

1.4    Metode Penyusunan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode penelusuran internet yang berhubungan dengan materi







BAB II
KAJIAN TEORI

2.1    Pengertian Multimedia
Istilah media yang merupakan bentuk jamak dari medium secara harfiah berarti perantara atau pengantar. AECT (1979;21) mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran untuk proses transmisi informasi. Sedang Olson (1974:12) mendefinisikan medium sebagai teknologi untuk menyajika, merekam,membagi, dan mendistribusikan simbol dengan melalui rangsangan indra tertentu disertai penstrukturan informasi.
Multimedia adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih media yang terdiri dari teks, grafis,gambar,foto, audio, video, dan animasi secara terintregrasi. multimedia terbagi menjadi dua kategori yaitu :
1.    Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat pengontrol apapun yang  dapat dioprasikan oleh pengguna. Multimedia ini berjalan sekuensial (berurutan),contohnya: TV dan film.
2.    Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioprasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. contoh multimedia interaktif adalah multimedia pembelajarn interaktif, aplikasi game, dll.
3.      Heinich, dkk (1982) mengartikan istilah media sebagai “the term refer to anything that carries information between a source and a receiver”. Sementara media pembelajaran dimaknai sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Batasan tersebut terungkap antara lain dari pendapat-pendapat para ahli seperti Wilbur Schramm (1971), Gagne dan Briggs (1970). Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa setidaknya mereka sependapat bahwa: (a) media merupakan wadah dari pesan yang oleh sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut, dan (b) bahwa materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, dan (c) bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.
Konsep teknologi multimedia (TM) bukan sekadar penggunaan media secara majemuk untuk pencapaian kompetensi tertentu, namun mencakup pengertian perlunya integrasi berbagai jenis media yang digunakan dalam suatu penyajian yang tersusun secara baik (sistemik dan sistematik). Masing-masing media dalam teknologi multimedia ini dirancang untuk saling melengkapi sehingga secara keseluruhan media yang digunakan akan menjadi lebih besar peranannya dari pada sekedar penjumlahan dari masing-masing media. Dengan demikian teknologi multimedia yang dimaksud dalam tulisan ini tidak semata-mata penggunaan berbagai media secara bersamaan, namun mensyaratkan atau identik dengan teknologi multimedia yang berbasis komputer, interaktif dan pembelajaran mandiri. Dengan TM yang berbasis komputer juga terkandung sifat interaktif antara siswa dengan media secara individual. Maka konsep teknologi multimedia selalu berkonotasi atau identik dengan media pembelajaran yang berbasis computer, interaktif dan mandiri.
Bentuk-bentuk teknologi multimedia yang banyak digunakan di kelas/sekolah adalah kombinasi multimedia dalam bentuk satu kit (perangkat) yang disatukan. Satu perangkat (kit) multimedia adalah gabungan bahan-bahan pembelajaran yang meliputi lebih dari satu jenis media dan disusun atau digabungkan berdasarkan atas satu topik tertentu. Perangkat (kit) ini dapat mencakup slide, film, suara, gambar diam, grafik, peta, buku, chart, dan lain-lain menjadi satu model. Misalnya: CD pembelajaran atau CD interaktif.
Sejumlah karakteristik yang menonjol dari TM di antaranya adalah: (1) small steps, (2) active responding, dan (3) immediate feedback. (Burke, dalam Pramono, 1996:19). Sementara Elida dan Nugroho (2003:111) yang mengutip Roblyer dan Hanafin mengidentifikasi adanya 12 karakteristik TM yaitu: (1) dirancang berdasarkan kompetensi/tujuan pembelajaran, (2) dirancang sesuai dengan karakteristik pebelajar, (3) memaksimalkan interaksi, (4) bersifat individual,(5) memadukan berbagai jenis media, (6) mendekati pebelajar secara positif, (7) menyiapkan bermacam-macam umpan balik, (8) cocok dengan lingkungan pembelajaran, (9) menilai penampilan secara patut, (10) menggunakan sumber-sumber komputer secara maksimal, (11) dirancang berdasarkan prinsip desain pembelajaran, (12) seluruh program sudah dievaluasi.
Dengan melihat sejumlah karakteristiknya, maka TM memiliki sejumlah manfaat di antaranya: (1) mengatasi kelemahan pada pembelajaran kelompok maupun individual, (2) membantu menjadikan gambar atau contoh yang sulit didapatkan di lingkungan sekolah menjadi lebih konkrit, (3) memungkinkan pengulangan sampai berkali-kali tanpa rasa malu bagi yang berbuat salah, (4) mendukung pembelajaran individual, (5) lebih mengenal dan terbiasa dengan komputer, (6) merupakan media pembelajaran yang efektif, (7) menciptakan pembelajaran yang “enjoyment” atau “joyful learning”.

2.2    Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran diartikan sebagai proses penciptaan lingkungan yang memungkinkan  terjadinya proses belajar hal ini di tegaskan oleh Yusufhadi Miarso (1985) dalam bukunya Menyemai Benih-Benih Teknologi memberikan batasan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang fikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Batasan yang sederhana ini memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran.
Istilah pembelajaran digunakan untuk menunjukan usaha pendidikan yang dilaksanakan secara sengaja, dengan tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan, serta yang pelaksanaanya terkendali.Perlu ditegaskan bahwa dalam proses pendidikan sering kali seseorang belajar tanpa sengaja, tanpa tahu tujuannya terlebih dahulu, dan tidak selalu terkendalikan baik dalam artian isi, waktu, proses maupun hasilnya, namun kedua istilah itu –pendidikan dan pembelajaran- dipakai secara bergantian (Yusuf hadi Miarso 2009:4)



BAB III
PEMBAHASAN

Yusufhadi Miarso 2009:4 dalam bukunya Menyemai Benih-Benih Teknologi Pendidikn mengatakan “Berbagai kajian teoritik maupun empirik menunjukan kegunaan media dalam pembelajaran sebagai berikut :
3.1 Kegunaan Media dalam Pembelajaran
a.  Mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak, sehingga otak bisa berfungsi secara optimal
b.  Dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik
c.  Dapat melampaui batas ruang kelas
d.  Memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya
e.  Menghasilkan  keseragaman pengamatan
f.  Membangkitkan keinginan dan minat baru
g.  Membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar
h.  Memberikan pengalaman yang i tegral/menyeluruh dari sesuatu yang konkret maupun yang abstrak.
i.  Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri
j.  Meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new literac)
k.  Mampu meningkatkan efek sosial dengan menginkatnya kesadaran duni sekitar
l.  Dapat meningkatkan kemampuan ekspresi diri

3.2 Pedoman Umum Penggunaan Media dalam Proses Pembelajaran
a. Tidak ada suatu media yang terbaik untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran, masing-masing media mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu pemanfaatan kombinasi dua atau lebih media akan lebih mampu membantu tercapainya tujuan pembelajaran
b. Didasarkan pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. dengan demikian pemanfaatan media harus menjadi bagian integral dari penyajian pelajaran
c. Mempertimbangkan kecocokan ciri media dengan karakteristikmateri pelajaran yang disajikan
d.  Mnyesuaikan dengan bentuk kegiatan pembelajaran
e.  Disertai persiapan yang cukup
f. Peserta didik perlu disiapkan terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran
g.  Melibatkan partisipasi aktif peserta

3.3 Taksonomi Media untuk Pembelajaran
Menurut Haney dan Ulmer ada tiga kategori uama berbagai bentuk media pembelajaran itu : 1. Media yang mampu menyajikan informasi, karena itu disebut dengan Media Penyaji, 2. Media yang mengandung informasi dan disebut media obyek, 3 media yang memungkinkan untuk berinteraksi dan itu disebut media interaktif.
Taksonomi itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Media Penyaji
Kelompok satu : Grafis, Bahan cetak dan gambar diam contoh : Poster-poster dan buku-buku cetak
Kelompok dua : Media proyeksi diam contohnya : Slides (film bingkai), Filmstrip (Film rangkai), Opaque projector ( Proyektor pantul)
Kelompok tiga : Media audio
Kelompok Empat : Audio ditambah Media Visual Diam
Kelompok lima : Gambar hidup (film)
Kelompo enam : Televisi
Kelompo tujuh : Multimedia
Media Objek
Media objek adalah benda tiga dimensi yang mengandung informasi, tidak dalam bentuk penyajian tetapi melalui ciri-ciri fisik dengan dua katagori : objek yang sebenarnya (objek alami dan objek pengganti)  dan objek pengganti dikenal dengan reflika, model atau benda tiruan.
Media Interaktif
Karakteristik kelompok ini adalah peserta didik tidak disuruh memperhatikan penyajian atau objek, tetapi dipaksa untuk berinteraksi selama mengikuti pelajaran



BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Multimedia adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih yang terdiri dari teks, grafis, gambar, audio, video, dan animasi secara terintegrasi. multimedia terbagi menjadi dua kategori yaitu : multimedia linier dan multimedia interaktif.Penggunaan teknologi multimedia yang menekankan kepada unsur pembelajaran interaktif telah membawa persepsi baru dalam era penggunaa komputer dalam bidang pendidikan. Multimedia terdiri dari beberapa objek, teks, grafik, dan image, bunyi, dan video.
Multimedia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media lain. Keistimewaan tersebut adalah :Multimedia menyediakan proses interaktif dan memberikan kemudahan timbal balik, artinya Multimedia memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam menentukan topik proses belajar dan multimedia memberikan kemudahan kontrol yang sistematik dalam proses belajar.
secara umum manfaat yang dapat diperoleh adalah proses pembelajaran lebih menarik, interaktif, jumlah waktu mengajar dapat dikurangi, kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan.

4.2  Saran
Semua stikholder dan user pendidikan harus memahami dan mampu menguasai multimedia saat Multimedia dijadikan sebagai Pembelajaran yang integral dan modern

Daftar Pustaka
AECT (1977). The definition of educational technology, Washington DC: AECT, (Edisi Bahasa Indonsia dengan judul: Definisi Teknologi Pendidikan, Seri Pustaka teknologi Pendidikan No. 7, 1994). Jakarta: PAU-UT & PT Rajawali.
Brown, James W., Richard B. Lewis, Fred F. Harcleroad, AV (1977) Intruction : Technology, media, and methods, New York : Mc Graw-Hill Book Company.
Criswell, Eleanor L. (1989). The design of computer-based instruction, New York: Macmillan Publishing Company.
Dale, Edgar, (1969) Audio visual methods in teaching, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. The Dryden Press.
Elida, T. & W. Nugroho (2003). Pengembangan computer assisted instruction (CAI) pada Praktikum Mata Kuliah Jaringan Komputer, Jurnal teknologi pendidikan, Vol. 5 no. 1. ISSN 1441-2744.
Gagne, Robert M. and Leslie J Briggs (1979). Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Haggett, Peter (1972). Geography: A modern synthesis. New York: Harper and Row.
Heinich, Robert, Michael Molenda, James D. Russel, (1982) Instructional media: and the new technology of instruction, New York: Jonh Wily and Sons.
Jusufhadi Miarso, dkk., (1984) Teknologi komukikasi pendidikan: Pengertian dan penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pustekkom Dikbut dan CV Rajawali.
Kemp, Jerrold E., Gery Morrison and Stevent M. Ross (1994). Designing efective instruction. New York: Mc Millan College Publishing Company, Inc.
Depdiknas (2006). Permendiknas no.22 tentang: Standar Isi
Trini Prastati dan Prasetya Irawan (2001) Media sederhana.Jakarta: PA

Senin, 18 Juni 2012

Makalah Konsekuensi Inovasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Penerapan inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan.  Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning, dan sebagaimya.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Suatu inovasi akan melahirkan konsekuensi.  Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Melalui bukunya Diffusion of Innovation (1971), Everett M. Rogers mengembangkan konsep difusi inovasi yang dirangkum dalam sebelas bab. bab 11 membahas tentang konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam konsekuensi – konsekuensi inovasi sebagai berikut:
1. Pengertian konsekuensi inovasi
2. Klasifikasi konsekuensi
3. Struktur sosial dan konsekuensi penyetaraan
4. Konsekuensi inovasi dalam bidang pendidikan

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang konsekuensi inovasi, khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari pengadopsian sebuah inovasi yaitu berupa invensi (pembaharuan) dan difusi (perubahan) yang menjadi tujuan yang ingin dicapai.
Meskipun pentingnya mempertimbangkan sebuah konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi, namun sedikit studi yang dilakukan oleh para peneliti difusi. Kurangnya perhatian dan data mengenai konsekuensi menyulitkan kita untuk mengeneralisasikan mengenai konsekuensi suatu inovasi. Kita dapat menguraikan berbagai konsekuensi dan menentukan katagori-katagori untuk mengklasifikasikan berbagai konsekuensi, namun tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana konsekuensi tersebut akan terjadi.
Tidak hanya para peneliti yang telah memberikan begitu sedikit perhatiannya mengenai konsekuensi, agen perubahanpun juga sama. Mereka seringkali berasumsi bahwa adopsi dari suatu inovasi yang diterapkan akan menghasilkan keuntungan semata bagi para adopter yang mengadopsinya. Asumsi tersebut merupakan sebuah bias pro-inovasi. Para agen perubahan akan menguraikan responsibilitasnya terhadap berbagai konsekuensi dari sebuah inovasi yang mereka kenalkan. Mereka harus dapat memprediksikan keuntungan dan kerugian suatu inovasi sebelum memperkenalkan sebuah inovasi pada klien-kliennya, namun hal tersebut jarang dilakukan oleh para agen.



Mempelajari Konsekuensi
Konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi belum dipelajari secara memadai karena beberapa alasan berikut ini :
1. Setiap agen perubahan lebih menitikberatkan pada adopsi saja, yang  menganggap bahwa inovasi akan mendatangkan akibat yang positif.
2.   Metode survey penelitian pada umumnya kurang tepat untuk mengungkapkan berbagai konsekuensi atau berbagai akibat dari sebuah inovasi
3.    Konsekuensi sulit untuk diukur.

2.2.  Klasifikasi Konsekuensi Inovasi
1.    Konsekuensi diharapkan dan tidak diharapkan
Konsekuensi yang diharapkan adalah suatu inovasi yang mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal hal tersebut tidak dikehendaki. Konsekuensi fungsional adalah akibat-akibat dari penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial yang sesuai dengan keinginan dari pengadopsi. Akibat tersebut memiliki konotasi yang positif. Sebaliknya konsekuensi disfungsional adalah akibat-akibat dari pengadopsian inovasi yang tidak diinginkan oleh pengadopsi. Penentuan apakah suatu konsekuensi itu fungsional atau disfungsional, tergantung bagaimana inovasi tersebut mempengaruhi pengadopsi, kemudian waktu dimana ada saat tertentu mungkin belum dirasakan akibatnya yang posifitif, tapi mungkin nanti akan dirasakan setelah beberapa waktu.
Pada kenyataannya, banyak inovasi memberikan konsekuensi yang positif dan negatif, hal ini diakibatkan kekeliruan yang menganggap bahwa dampak yang diinginkat dapat dicapai tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun asumsi tersebut seringkali secara tidak disadari terjadi. Kesimpulan kita, bagaimanapun juga, hal ini umumnya sulit atau mungkin mengatur pengaruh sebuah inovasi untuk memisahkan innovasi yang diinginkan dari berbagai konsekuensi atau akibat yang tidak diinginkan.

2.    Konsekuensi langsung dan tidak langsung
Konsekuensi langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu atau suatu sistem sosial, sedangkan konsekuensi tidak langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh yang tidak segera.
Konsekuensi langsung suatu inovasi menghasilkan perubahan-perubahan sistem sosial  yang terjadi  sebagai respon segera penyebaran suatu inovasi.
Konsekuensi tidak langsung adalah perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang terjadi sebagai hasil konsekuensi langsung suatu inovasi yang masih memerlukan upaya tambahan dan prosesnya masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Konsekuensi langsung sebuah inovasi merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi secara langsung dari sebuah inovasi. Sedangan konsekuensi atau akibat tidak langsung merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari konsekuensi langsung suatu inovasi.
3.    Konsekuensi diantisipasi dan tidak diantisipasi
Konsekuensi yang diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan  sebelumnya, sedangkan konsekuensi yang tidak diantisipasi adalah dampak ikutan yang muncul kemudian setelah adopsi atau menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif. Konsekuensi ini juga disebut sebagai konsekuensi yang nampak dan yang latent
Konsekuensi yang nampak adalah perubahan-perubahan yang terlihat dan dikehendaki oleh anggota sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Contoh yang tanpak dari suatu pengadopsian suatu inovasi misalnya : adanya pengembangan keterampilan kerja baru bagi orang yang menerapkan  penggunaan  gergaji mesin untuk memotong kayu. Sedangkan konsekuensi yang latent adalah perubahan-perubahan yang tidak tampak dan tidak dikehendaki oleh anggota suatu sistem sosial. Semakin maju dan modern suatu inovasi, akan semakin banyak pula menghasilkan konsekuensi baik konsekuensi yang nampak maupun yang tidak tampak.
Konsekuensi yang terantisipasi merupakan perubahan yang berkenaan dengan inovasi yang diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial. Konsekuensi yang tidak terantisipasi merupakan perubahan dari sebuah inovasi yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial.

Bentuk, Fungsi dan Makna suatu Inovasi
Berbagai konsekuensi inovasi yang tidak diinginkan, tidak langsung, dan tidak terantisipasi pada umumnya terjadi secara bersamaan, dengan konsekuensi atau akibat yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi. Kami menunjukan sebuah ilustrasi dari generalisasi tersebut dalam memperkenalkan kampak baja atau alat pemotong dari baja pada suku Aborogin Australian, yang membawa banyak konsekuensi yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi, termasuk rincian struktur keluarga, kemunculan prostitusi, dan “penyalahgunaan” innovasi itu sendiri. Kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga intrinsik elemen inovasi :
1.    Bentuk, yang langsung secara fisik dapat dilihat dan subtansi inovasi,
2.  Fungsi, kontribusi yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup para anggota sistem sosial,
3.   Tujuan : persepsi inovasi yang subjektif dan disadari oleh para anggota sistem sosial. Para agen perubahan lebih mudah dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi untuk para kliennya dari pada tujuannya.

Mencapai Keseimbangan Dinamis
Dalam menentukan tingkat perubahan yg ideal dalam sebuah sistem, konsep keseimbangan harus dipertimbangkan. Stable equilibrium (keseimbangan yang stabil) terjadi ketika hampir tidak ada perubahan pada struktur atau fungsi sistem sosial. Sedangkan Dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis) terjadi ketika tingkat perubahan dalam sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem untuk menanganinya. Disequilibrium (ketidakseimbangan) terjadi ketika tingkat perubahan terlalu cepat pada sistem sosial untuk menyesuaikan. Para agen perubahan secara umum berharap mencapai tingkat perubahan yang membawa pada dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis), dan menghindari pada ketidakseimbangan atau disequilibrium.
Sebagai paradigma pembangunan yang dominan yang mulai dipertanyakan pada awal 1970 an, dan berbagai macam alternatif paradigma pembangunan tersebut diungkapkan, pentingnya keseimbangan sebagaimana pentingnya konsekuensi dari berbagai aktivitas difusi mulai direalisasikan. Pertama tujuan dari program difusi adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam sebuah sistem; namun yang kedua dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi yang baik diantara para anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang seimbang. Berbagai konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan lamban mengadosi berbagai katagori dalam suatu sistem. Selanjutnya, berbagai konsekuensi dari pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang tinggi dan orang yang status sosial ekonominy rendah.
Struktur sistem sosial secara terpisah menentukan seimbang versus tidak seimbang dari sebuah konsekuensi inovasi. Ketika sebuah struktur sistem dalam keadaan yang begitu tidak seimbang, konsekuensi dari suatu inovasi (terutama jika inovasi tersebut berkenaan dengan biaya yang tinggi) akan membawa keadaan yang sangat tidak seimbang dalam bentuk kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi apakah yang dapat dipakai untuk memperkecil kesenjangan ? jawabannya tergantung pada tiga alasan utama mengapa kesenjangan sosial ekonomi meluas sebagai konsekuensi dari inovasi : (1) “yang di atas” memiliki akses informasi yang lebih banyak untuk menciptakan kesadaran mengenai inovasi; (2) mereka memiliki akses informasi yang lebih banyak mengenai evalasi inovasi dari teman sejawat; dan (3) “yang di atas” memiliki kurang lebih sumber daya untuk mengadopsi inovasi dari pada yang “di bawah.”.
Ketika upaya-upaya yang khusus diciptakan oleh seorang agen difusi, hal tersebut mungkin untuk memperkecil, atau paling sedikit tidak memperluas, kesenjangan sosial ekonomi dalam sistem sosial. Dengan kata lain, berbagai kesenjangan yang melebar tidak terjadi.
Satu peranan penting untuk penelitian difusi dimasa mendatang adalah mengungkapkan berbagai strategi yang lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan diantara para anggota sistem sosial. Hal ini baru, sulit dan peranan yang menjanjikan untuk orang-orang yang mempelajari difusi.

2.3. Kesetaraan dalam Konsekuensi Inovasi
Umumnya salah satu cara yang dilakukan oleh agen perubahan dalam membentuk konsekuensi inovasi adalah dengan saling bekerjasama. Jika agen perubahan menghubungi orang yang lebih miskin dan berpendidikan rendah di masyarakat dari pada orang kaya, tentunya suatu inovasi akan lebih berarti/bermakna. Namun terkadang, biasanya agen perubahan lebih banyak menghubungi orang yang berpendidikan, memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, dengan demikian hal tersebut cenderung untuk memperluas kesenjangan sosial ekonomi melalui inovasi-inovasi yang mereka memperkenalkan.
Difusi dan inovasi secara umum menyebabkan dalamnya  tingkat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Meningkatnya ketidaksetaraan dalam konsekuensi inovasi disebabkan karena :
1.    Inovator dan pengadopsi awal memiliki sikap yang menguntungkan terhadap ide-ide baru dan mereka lebih cenderung mencari inovasi-inovasi secara aktif. Mereka juga memiliki sumber daya yang tersedia untuk menerapkan inovasi biaya yang lebih tinggi, sedangkan pengadopsi yang lain tidak.
2.    Agen-agen pembaharu professional cenderung memusatkan perhatian mereka pada kontak-kontak klien mereka pada innovator dan adopter awal dengan harapan bahwa pemimpin opini diantara katagori yang mengadopsi akan menyampaikan gagasan baru yang telah mereka ketahui kepada para pengikut mereka dengan proses yang merambat kebawah.
3.    Dengan mengadopsi inovasi relatif lebih awal daripada orang lain dalam sistem sosial, inovator dan pengadopsi awal memperoleh keuntungan, sehingga memperluas kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sebelum mengadopsi. Jadi pengadopsi awal menjadi semakin kaya, bila dibandingkan dengan adaptor yang lainya.

Komunikasi Mempengaruhi Kesenjangan Sosial
Pengaruh yang timbul dengan adanya aktivitas komunikasi secara umum merubah pengetahuan, sikap atau perilaku seseorang. Komunikasi telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap individu lainnya.

Strategi untuk Memperkecil Kesenjangan
Adapun strategi yang dapat disusun berdasarkan alasan pokok tentang mengapa besarnya kesenjangan sosial ekonomi akibat dari pengadopsian suatu inovasi diantaranya adalah :
1.    “Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh informasi yang menumbuhkan kesadaran tentang inovasi daripada “Kalangan Bawah”
a.    Pesan-pesan yang berlebihan atau yang kurang menarik dan/atau kurang menguntungkan bagi audiens yang lebih tinggi sosial ekonominya, tetapi cocok dan menarik bagi audiens yang lebih rendah sosial ekonominya, dapat disediakan. Strategi ini memungkinkan audiens yang lebih rendah sosial ekonominya untuk menyusul. Strategi ini dipakai dan berhasil dalam memperkecil kesenjangan sosialekonomi di India melalui program TV bagi orang-orang desa.
b.    Seseorang dapat menyesuaikan pesan-pesan komunikasi terutama bagi audiens yang lebih rendah sosioekonominya dalam arti ciri-ciri yang khas, seperti pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi dan sejenisnya. Bahan-bahan komunikasi sering tidak didesain secara khusus bagi derajat kalangan ini, dan oleh karena itu sering kurang efektif. Sungguhpun isi pokok dari pesan ini mungkin sama seperti bagi “Kalangan Atas”, untuk dapat lebih efektif dalam mencapai audiens yang lebih rendah sosioekonomiknya maka desain pesan, perlakuan dan presentasinya mungkin perlu berbeda; misalnya lebih banyak garis yang digambarkan, fotografi dan alat bantu visual yang lain yang mungki diperlukan disebabkan rendahnya pendidikan formal “Kalangan Bawah”.
c.    Seseorang dapat memgunakan saluran-saluran komunikasi yang secara khusus dapat menyelusuri “Kalangan Bawah” sehingga akses bukanlah halangan untuk memperoleh kesadaran pengetahuan akan inovasi. Misal; di Negara yang sedang berkembang persentase “Kalangan Bawah” yang tidak dapat membaca, maka media cetak tidak bermanfaat. “Kalangan Bawah” kemingkinan besar mengikuti siaran radio daripada menonton TV. Selain itu komunikasi tradisional dapat dilakukan seperti melalui pagelaran wayang, opera rakyat, bidan-bidan tradisional dan tempat berkumpul seperti pasar, tempat ibadah, warung dan kedai. Media komunikasi yang dapat dipercaya dan dapat diterima secara cultural khususnya sangat cocok bagi audiens yang lebih rendah tingkat sosioekonomiknya dibanyak Negara ( Rogers,1977 ).
d.    “Kalangan Bawah” dapat diorganisir dalam kelompok kecil dimana mereka dapat balajar tentang inovasi dan mendiskusikan ide baru. Seperti perkumpulan wanita di Korea, sekolah radiofonik di Amarika Latin, dan koperasi.
e.    Konsentrasi kontak para agen pembaharu dapat dipisahkan dari inovator dan adopter awal, yang juga telah dilakukan sebelumya terhadap mayoritas kemudian dan yang paling terlambat.

2.  “Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar bagi informasi  inovasi-evaluasi dari teman-teman dibandingkan dengan “Kalangan Bawah”
Jika teori “trickle-down” ( menetes kebawah ) beroperasi secara pasti, maka “Kalangan Bawah” akan segara cepat belajar dari “Kalangan Atas” dalam mengadopsi inovasi dan secara cepat mengikutinya. Tetapi realitas dari jaringan komunikasi dalam banyak system adalah bahwa “Kalangan Atas” berbicara dengan “Kalangan Atas” dan “Kalangan Bawah” dengan “Kalangan Bawah” ( Rolling dkk,1976 ). Bagaimana cara mengatasi masalah ini ?
a.    Pendapat pemuka di kalangan kelompok yang kurang beruntung dari suatu system dapat diidentifikasikan dan kontak agen pembaharu dapat dipusatkan pada mereka, jadi dapat mengingatkan teman-teman dalam hal inovasi.
b.    Pembantu-pembantu agen pembaharu yang dipilih dari "Kalangan Bawah” dapat dipakai untuk menghubungi teman-teman yang homofili tentang inovasi
c.    Kelompok-kelompok formal diantara “Kalangan Bawah” dapat diorganisir dengan memperlengkapi dengan kepemimpinan dan penguatan sosial dalam pengambilan keputusan inovasi mereka. Kelompok itu memberikan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang lebih besar.

3.    “Kalangan Atas” memiliki “slack resources” untuk mengadopsi inovasi dari pada “Kalangan Bawah”

“Kalangan Atas” selalu dapat mngadopsi inovasi, terutama jika ide baru itu mahal, secara teknologis kompleks, dan jika mereka memberikan derajat ekonomi. Strategi apa yang dapat membantu mengatasi tendensi pelebaran kesenjangan ini ?
a.    Prioritas dapat diberikan bagi pengembangan dan perekomendasian inovasi yang sesuai bagi “Kalangan Bawah” agar teknologi yang cocok  dapat diperoleh.
b.    Suatu organisasi dapat diadakan pada tingkat local agar “Kalangan Bawah” dapat memperoleh persamaan dengan “Kalangan Atas” dalam memiliki “Slack Resources” yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi tertentu yang mahal.
c.    Suatu sarana harus diadakan agar supaya “Kalangan Bawah” dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program difusi, termasuk menyusun program. Strategi partisipasi ini dapat menjadikan kebutuhan dan masalah diketahui oleh para pengurus dalam suatu lembaga pembaharuan.
d.    Lembaga-lembaga pembaharu tertentu dapat dimantapkan untuk bekerja hanya dengan “Kalangan Bawah” dengan demikian memungkinkan agen pembaharu menemukan kebutuhan tertentu dari “Kalangan Bawah” (kredit pertanian).
e.    Tekanan harus digeser dari mendifusikan inovasi yang berasal dari Litbang Formal ke informasi yang menyebar tentang ide berdasarkan pengalaman melalui system difusi yang lebih didesentralisasikan.

2.4. Konsekuensi Inovasi dalam Bidang Pendidikan
Penerapan inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan.  Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Salah satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan adalah pemanfaatan sarana teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Ketika segelintir sekolah sudah masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan inovasi teknologi, sebagian besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh dari akses teknologi informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih amat minim bahkan tidak ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan atau keberanian untuk menggunakan teknologi komputer dan internet. Tentu saja kesenjangan dalam aksebilitas antara siswa-siswa dari sekolah mampu dengan siswa-siswa dari sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan yang tidak seimbang antara anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan perencanaan anggaran pendidikan.
Implikasi lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas. Proses pembelajaran di dunia maya – yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir sekolah – tidak mengenal batasan formal dan nonformal. Beberapa situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya, ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak. Padahal tidak banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi cukup baik atau tidak punya cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi pengarahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi informasi.
Perubahan kurikulum atau metode pembelajaran yang terintegrasi dengan  Teknologi Informasi & Komunikasi dapat menjadi alternatif menjembatani guru dan siswa untuk lebih ramah dan sehat memanfaatkan teknologi.
Namun pada kenyataannya, tidak selalu inovasi dapat diterima. Beberapa kasus menunjukkan pelaksana inovasi cenderung resisten terhadap inovasi.
Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:
1.     Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.
2.    Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada.
3.    Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program".
4.   Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
5.    Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.


BAB III
PENUTUP
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.


Daftar Pustaka
Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y., Rogers, Everet M. (1983)