Senin, 18 Juni 2012

Makalah Konsekuensi Inovasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Penerapan inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan.  Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning, dan sebagaimya.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Suatu inovasi akan melahirkan konsekuensi.  Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Melalui bukunya Diffusion of Innovation (1971), Everett M. Rogers mengembangkan konsep difusi inovasi yang dirangkum dalam sebelas bab. bab 11 membahas tentang konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam konsekuensi – konsekuensi inovasi sebagai berikut:
1. Pengertian konsekuensi inovasi
2. Klasifikasi konsekuensi
3. Struktur sosial dan konsekuensi penyetaraan
4. Konsekuensi inovasi dalam bidang pendidikan

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang konsekuensi inovasi, khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari pengadopsian sebuah inovasi yaitu berupa invensi (pembaharuan) dan difusi (perubahan) yang menjadi tujuan yang ingin dicapai.
Meskipun pentingnya mempertimbangkan sebuah konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi, namun sedikit studi yang dilakukan oleh para peneliti difusi. Kurangnya perhatian dan data mengenai konsekuensi menyulitkan kita untuk mengeneralisasikan mengenai konsekuensi suatu inovasi. Kita dapat menguraikan berbagai konsekuensi dan menentukan katagori-katagori untuk mengklasifikasikan berbagai konsekuensi, namun tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana konsekuensi tersebut akan terjadi.
Tidak hanya para peneliti yang telah memberikan begitu sedikit perhatiannya mengenai konsekuensi, agen perubahanpun juga sama. Mereka seringkali berasumsi bahwa adopsi dari suatu inovasi yang diterapkan akan menghasilkan keuntungan semata bagi para adopter yang mengadopsinya. Asumsi tersebut merupakan sebuah bias pro-inovasi. Para agen perubahan akan menguraikan responsibilitasnya terhadap berbagai konsekuensi dari sebuah inovasi yang mereka kenalkan. Mereka harus dapat memprediksikan keuntungan dan kerugian suatu inovasi sebelum memperkenalkan sebuah inovasi pada klien-kliennya, namun hal tersebut jarang dilakukan oleh para agen.



Mempelajari Konsekuensi
Konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi belum dipelajari secara memadai karena beberapa alasan berikut ini :
1. Setiap agen perubahan lebih menitikberatkan pada adopsi saja, yang  menganggap bahwa inovasi akan mendatangkan akibat yang positif.
2.   Metode survey penelitian pada umumnya kurang tepat untuk mengungkapkan berbagai konsekuensi atau berbagai akibat dari sebuah inovasi
3.    Konsekuensi sulit untuk diukur.

2.2.  Klasifikasi Konsekuensi Inovasi
1.    Konsekuensi diharapkan dan tidak diharapkan
Konsekuensi yang diharapkan adalah suatu inovasi yang mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal hal tersebut tidak dikehendaki. Konsekuensi fungsional adalah akibat-akibat dari penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial yang sesuai dengan keinginan dari pengadopsi. Akibat tersebut memiliki konotasi yang positif. Sebaliknya konsekuensi disfungsional adalah akibat-akibat dari pengadopsian inovasi yang tidak diinginkan oleh pengadopsi. Penentuan apakah suatu konsekuensi itu fungsional atau disfungsional, tergantung bagaimana inovasi tersebut mempengaruhi pengadopsi, kemudian waktu dimana ada saat tertentu mungkin belum dirasakan akibatnya yang posifitif, tapi mungkin nanti akan dirasakan setelah beberapa waktu.
Pada kenyataannya, banyak inovasi memberikan konsekuensi yang positif dan negatif, hal ini diakibatkan kekeliruan yang menganggap bahwa dampak yang diinginkat dapat dicapai tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun asumsi tersebut seringkali secara tidak disadari terjadi. Kesimpulan kita, bagaimanapun juga, hal ini umumnya sulit atau mungkin mengatur pengaruh sebuah inovasi untuk memisahkan innovasi yang diinginkan dari berbagai konsekuensi atau akibat yang tidak diinginkan.

2.    Konsekuensi langsung dan tidak langsung
Konsekuensi langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu atau suatu sistem sosial, sedangkan konsekuensi tidak langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh yang tidak segera.
Konsekuensi langsung suatu inovasi menghasilkan perubahan-perubahan sistem sosial  yang terjadi  sebagai respon segera penyebaran suatu inovasi.
Konsekuensi tidak langsung adalah perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang terjadi sebagai hasil konsekuensi langsung suatu inovasi yang masih memerlukan upaya tambahan dan prosesnya masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Konsekuensi langsung sebuah inovasi merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi secara langsung dari sebuah inovasi. Sedangan konsekuensi atau akibat tidak langsung merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari konsekuensi langsung suatu inovasi.
3.    Konsekuensi diantisipasi dan tidak diantisipasi
Konsekuensi yang diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan  sebelumnya, sedangkan konsekuensi yang tidak diantisipasi adalah dampak ikutan yang muncul kemudian setelah adopsi atau menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif. Konsekuensi ini juga disebut sebagai konsekuensi yang nampak dan yang latent
Konsekuensi yang nampak adalah perubahan-perubahan yang terlihat dan dikehendaki oleh anggota sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Contoh yang tanpak dari suatu pengadopsian suatu inovasi misalnya : adanya pengembangan keterampilan kerja baru bagi orang yang menerapkan  penggunaan  gergaji mesin untuk memotong kayu. Sedangkan konsekuensi yang latent adalah perubahan-perubahan yang tidak tampak dan tidak dikehendaki oleh anggota suatu sistem sosial. Semakin maju dan modern suatu inovasi, akan semakin banyak pula menghasilkan konsekuensi baik konsekuensi yang nampak maupun yang tidak tampak.
Konsekuensi yang terantisipasi merupakan perubahan yang berkenaan dengan inovasi yang diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial. Konsekuensi yang tidak terantisipasi merupakan perubahan dari sebuah inovasi yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial.

Bentuk, Fungsi dan Makna suatu Inovasi
Berbagai konsekuensi inovasi yang tidak diinginkan, tidak langsung, dan tidak terantisipasi pada umumnya terjadi secara bersamaan, dengan konsekuensi atau akibat yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi. Kami menunjukan sebuah ilustrasi dari generalisasi tersebut dalam memperkenalkan kampak baja atau alat pemotong dari baja pada suku Aborogin Australian, yang membawa banyak konsekuensi yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi, termasuk rincian struktur keluarga, kemunculan prostitusi, dan “penyalahgunaan” innovasi itu sendiri. Kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga intrinsik elemen inovasi :
1.    Bentuk, yang langsung secara fisik dapat dilihat dan subtansi inovasi,
2.  Fungsi, kontribusi yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup para anggota sistem sosial,
3.   Tujuan : persepsi inovasi yang subjektif dan disadari oleh para anggota sistem sosial. Para agen perubahan lebih mudah dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi untuk para kliennya dari pada tujuannya.

Mencapai Keseimbangan Dinamis
Dalam menentukan tingkat perubahan yg ideal dalam sebuah sistem, konsep keseimbangan harus dipertimbangkan. Stable equilibrium (keseimbangan yang stabil) terjadi ketika hampir tidak ada perubahan pada struktur atau fungsi sistem sosial. Sedangkan Dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis) terjadi ketika tingkat perubahan dalam sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem untuk menanganinya. Disequilibrium (ketidakseimbangan) terjadi ketika tingkat perubahan terlalu cepat pada sistem sosial untuk menyesuaikan. Para agen perubahan secara umum berharap mencapai tingkat perubahan yang membawa pada dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis), dan menghindari pada ketidakseimbangan atau disequilibrium.
Sebagai paradigma pembangunan yang dominan yang mulai dipertanyakan pada awal 1970 an, dan berbagai macam alternatif paradigma pembangunan tersebut diungkapkan, pentingnya keseimbangan sebagaimana pentingnya konsekuensi dari berbagai aktivitas difusi mulai direalisasikan. Pertama tujuan dari program difusi adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam sebuah sistem; namun yang kedua dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi yang baik diantara para anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang seimbang. Berbagai konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan lamban mengadosi berbagai katagori dalam suatu sistem. Selanjutnya, berbagai konsekuensi dari pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang tinggi dan orang yang status sosial ekonominy rendah.
Struktur sistem sosial secara terpisah menentukan seimbang versus tidak seimbang dari sebuah konsekuensi inovasi. Ketika sebuah struktur sistem dalam keadaan yang begitu tidak seimbang, konsekuensi dari suatu inovasi (terutama jika inovasi tersebut berkenaan dengan biaya yang tinggi) akan membawa keadaan yang sangat tidak seimbang dalam bentuk kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi apakah yang dapat dipakai untuk memperkecil kesenjangan ? jawabannya tergantung pada tiga alasan utama mengapa kesenjangan sosial ekonomi meluas sebagai konsekuensi dari inovasi : (1) “yang di atas” memiliki akses informasi yang lebih banyak untuk menciptakan kesadaran mengenai inovasi; (2) mereka memiliki akses informasi yang lebih banyak mengenai evalasi inovasi dari teman sejawat; dan (3) “yang di atas” memiliki kurang lebih sumber daya untuk mengadopsi inovasi dari pada yang “di bawah.”.
Ketika upaya-upaya yang khusus diciptakan oleh seorang agen difusi, hal tersebut mungkin untuk memperkecil, atau paling sedikit tidak memperluas, kesenjangan sosial ekonomi dalam sistem sosial. Dengan kata lain, berbagai kesenjangan yang melebar tidak terjadi.
Satu peranan penting untuk penelitian difusi dimasa mendatang adalah mengungkapkan berbagai strategi yang lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan diantara para anggota sistem sosial. Hal ini baru, sulit dan peranan yang menjanjikan untuk orang-orang yang mempelajari difusi.

2.3. Kesetaraan dalam Konsekuensi Inovasi
Umumnya salah satu cara yang dilakukan oleh agen perubahan dalam membentuk konsekuensi inovasi adalah dengan saling bekerjasama. Jika agen perubahan menghubungi orang yang lebih miskin dan berpendidikan rendah di masyarakat dari pada orang kaya, tentunya suatu inovasi akan lebih berarti/bermakna. Namun terkadang, biasanya agen perubahan lebih banyak menghubungi orang yang berpendidikan, memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, dengan demikian hal tersebut cenderung untuk memperluas kesenjangan sosial ekonomi melalui inovasi-inovasi yang mereka memperkenalkan.
Difusi dan inovasi secara umum menyebabkan dalamnya  tingkat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Meningkatnya ketidaksetaraan dalam konsekuensi inovasi disebabkan karena :
1.    Inovator dan pengadopsi awal memiliki sikap yang menguntungkan terhadap ide-ide baru dan mereka lebih cenderung mencari inovasi-inovasi secara aktif. Mereka juga memiliki sumber daya yang tersedia untuk menerapkan inovasi biaya yang lebih tinggi, sedangkan pengadopsi yang lain tidak.
2.    Agen-agen pembaharu professional cenderung memusatkan perhatian mereka pada kontak-kontak klien mereka pada innovator dan adopter awal dengan harapan bahwa pemimpin opini diantara katagori yang mengadopsi akan menyampaikan gagasan baru yang telah mereka ketahui kepada para pengikut mereka dengan proses yang merambat kebawah.
3.    Dengan mengadopsi inovasi relatif lebih awal daripada orang lain dalam sistem sosial, inovator dan pengadopsi awal memperoleh keuntungan, sehingga memperluas kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sebelum mengadopsi. Jadi pengadopsi awal menjadi semakin kaya, bila dibandingkan dengan adaptor yang lainya.

Komunikasi Mempengaruhi Kesenjangan Sosial
Pengaruh yang timbul dengan adanya aktivitas komunikasi secara umum merubah pengetahuan, sikap atau perilaku seseorang. Komunikasi telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap individu lainnya.

Strategi untuk Memperkecil Kesenjangan
Adapun strategi yang dapat disusun berdasarkan alasan pokok tentang mengapa besarnya kesenjangan sosial ekonomi akibat dari pengadopsian suatu inovasi diantaranya adalah :
1.    “Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh informasi yang menumbuhkan kesadaran tentang inovasi daripada “Kalangan Bawah”
a.    Pesan-pesan yang berlebihan atau yang kurang menarik dan/atau kurang menguntungkan bagi audiens yang lebih tinggi sosial ekonominya, tetapi cocok dan menarik bagi audiens yang lebih rendah sosial ekonominya, dapat disediakan. Strategi ini memungkinkan audiens yang lebih rendah sosial ekonominya untuk menyusul. Strategi ini dipakai dan berhasil dalam memperkecil kesenjangan sosialekonomi di India melalui program TV bagi orang-orang desa.
b.    Seseorang dapat menyesuaikan pesan-pesan komunikasi terutama bagi audiens yang lebih rendah sosioekonominya dalam arti ciri-ciri yang khas, seperti pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi dan sejenisnya. Bahan-bahan komunikasi sering tidak didesain secara khusus bagi derajat kalangan ini, dan oleh karena itu sering kurang efektif. Sungguhpun isi pokok dari pesan ini mungkin sama seperti bagi “Kalangan Atas”, untuk dapat lebih efektif dalam mencapai audiens yang lebih rendah sosioekonomiknya maka desain pesan, perlakuan dan presentasinya mungkin perlu berbeda; misalnya lebih banyak garis yang digambarkan, fotografi dan alat bantu visual yang lain yang mungki diperlukan disebabkan rendahnya pendidikan formal “Kalangan Bawah”.
c.    Seseorang dapat memgunakan saluran-saluran komunikasi yang secara khusus dapat menyelusuri “Kalangan Bawah” sehingga akses bukanlah halangan untuk memperoleh kesadaran pengetahuan akan inovasi. Misal; di Negara yang sedang berkembang persentase “Kalangan Bawah” yang tidak dapat membaca, maka media cetak tidak bermanfaat. “Kalangan Bawah” kemingkinan besar mengikuti siaran radio daripada menonton TV. Selain itu komunikasi tradisional dapat dilakukan seperti melalui pagelaran wayang, opera rakyat, bidan-bidan tradisional dan tempat berkumpul seperti pasar, tempat ibadah, warung dan kedai. Media komunikasi yang dapat dipercaya dan dapat diterima secara cultural khususnya sangat cocok bagi audiens yang lebih rendah tingkat sosioekonomiknya dibanyak Negara ( Rogers,1977 ).
d.    “Kalangan Bawah” dapat diorganisir dalam kelompok kecil dimana mereka dapat balajar tentang inovasi dan mendiskusikan ide baru. Seperti perkumpulan wanita di Korea, sekolah radiofonik di Amarika Latin, dan koperasi.
e.    Konsentrasi kontak para agen pembaharu dapat dipisahkan dari inovator dan adopter awal, yang juga telah dilakukan sebelumya terhadap mayoritas kemudian dan yang paling terlambat.

2.  “Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar bagi informasi  inovasi-evaluasi dari teman-teman dibandingkan dengan “Kalangan Bawah”
Jika teori “trickle-down” ( menetes kebawah ) beroperasi secara pasti, maka “Kalangan Bawah” akan segara cepat belajar dari “Kalangan Atas” dalam mengadopsi inovasi dan secara cepat mengikutinya. Tetapi realitas dari jaringan komunikasi dalam banyak system adalah bahwa “Kalangan Atas” berbicara dengan “Kalangan Atas” dan “Kalangan Bawah” dengan “Kalangan Bawah” ( Rolling dkk,1976 ). Bagaimana cara mengatasi masalah ini ?
a.    Pendapat pemuka di kalangan kelompok yang kurang beruntung dari suatu system dapat diidentifikasikan dan kontak agen pembaharu dapat dipusatkan pada mereka, jadi dapat mengingatkan teman-teman dalam hal inovasi.
b.    Pembantu-pembantu agen pembaharu yang dipilih dari "Kalangan Bawah” dapat dipakai untuk menghubungi teman-teman yang homofili tentang inovasi
c.    Kelompok-kelompok formal diantara “Kalangan Bawah” dapat diorganisir dengan memperlengkapi dengan kepemimpinan dan penguatan sosial dalam pengambilan keputusan inovasi mereka. Kelompok itu memberikan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang lebih besar.

3.    “Kalangan Atas” memiliki “slack resources” untuk mengadopsi inovasi dari pada “Kalangan Bawah”

“Kalangan Atas” selalu dapat mngadopsi inovasi, terutama jika ide baru itu mahal, secara teknologis kompleks, dan jika mereka memberikan derajat ekonomi. Strategi apa yang dapat membantu mengatasi tendensi pelebaran kesenjangan ini ?
a.    Prioritas dapat diberikan bagi pengembangan dan perekomendasian inovasi yang sesuai bagi “Kalangan Bawah” agar teknologi yang cocok  dapat diperoleh.
b.    Suatu organisasi dapat diadakan pada tingkat local agar “Kalangan Bawah” dapat memperoleh persamaan dengan “Kalangan Atas” dalam memiliki “Slack Resources” yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi tertentu yang mahal.
c.    Suatu sarana harus diadakan agar supaya “Kalangan Bawah” dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program difusi, termasuk menyusun program. Strategi partisipasi ini dapat menjadikan kebutuhan dan masalah diketahui oleh para pengurus dalam suatu lembaga pembaharuan.
d.    Lembaga-lembaga pembaharu tertentu dapat dimantapkan untuk bekerja hanya dengan “Kalangan Bawah” dengan demikian memungkinkan agen pembaharu menemukan kebutuhan tertentu dari “Kalangan Bawah” (kredit pertanian).
e.    Tekanan harus digeser dari mendifusikan inovasi yang berasal dari Litbang Formal ke informasi yang menyebar tentang ide berdasarkan pengalaman melalui system difusi yang lebih didesentralisasikan.

2.4. Konsekuensi Inovasi dalam Bidang Pendidikan
Penerapan inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan.  Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Salah satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan adalah pemanfaatan sarana teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Ketika segelintir sekolah sudah masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan inovasi teknologi, sebagian besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh dari akses teknologi informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih amat minim bahkan tidak ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan atau keberanian untuk menggunakan teknologi komputer dan internet. Tentu saja kesenjangan dalam aksebilitas antara siswa-siswa dari sekolah mampu dengan siswa-siswa dari sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan yang tidak seimbang antara anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan perencanaan anggaran pendidikan.
Implikasi lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas. Proses pembelajaran di dunia maya – yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir sekolah – tidak mengenal batasan formal dan nonformal. Beberapa situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya, ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak. Padahal tidak banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi cukup baik atau tidak punya cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi pengarahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi informasi.
Perubahan kurikulum atau metode pembelajaran yang terintegrasi dengan  Teknologi Informasi & Komunikasi dapat menjadi alternatif menjembatani guru dan siswa untuk lebih ramah dan sehat memanfaatkan teknologi.
Namun pada kenyataannya, tidak selalu inovasi dapat diterima. Beberapa kasus menunjukkan pelaksana inovasi cenderung resisten terhadap inovasi.
Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:
1.     Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.
2.    Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada.
3.    Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program".
4.   Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
5.    Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.


BAB III
PENUTUP
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.


Daftar Pustaka
Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y., Rogers, Everet M. (1983)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar