BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penerapan
inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam
bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau
area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan. Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi
pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini
inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain
itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep
pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini
menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang
membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter
dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning, dan sebagaimya.
Penerapan
inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang
lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa
proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi
hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted
Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan
edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat
laboratorium yang berkualitas.
Suatu
inovasi akan melahirkan konsekuensi. Dalam
dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi
akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada
elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan
lain-lain.
Melalui
bukunya Diffusion of Innovation (1971), Everett M. Rogers mengembangkan konsep
difusi inovasi yang dirangkum dalam sebelas bab. bab 11 membahas tentang
konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem
sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
dalam konsekuensi – konsekuensi inovasi sebagai berikut:
1.
Pengertian konsekuensi inovasi
2.
Klasifikasi konsekuensi
3.
Struktur sosial dan konsekuensi penyetaraan
4.
Konsekuensi inovasi dalam bidang pendidikan
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang konsekuensi inovasi,
khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi
adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai
hasil pengadopsian atau penolakan terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari
pengadopsian sebuah inovasi yaitu berupa invensi (pembaharuan) dan difusi
(perubahan) yang menjadi tujuan yang ingin dicapai.
Meskipun
pentingnya mempertimbangkan sebuah konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi,
namun sedikit studi yang dilakukan oleh para peneliti difusi. Kurangnya
perhatian dan data mengenai konsekuensi menyulitkan kita untuk
mengeneralisasikan mengenai konsekuensi suatu inovasi. Kita dapat menguraikan
berbagai konsekuensi dan menentukan katagori-katagori untuk mengklasifikasikan
berbagai konsekuensi, namun tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana
konsekuensi tersebut akan terjadi.
Tidak
hanya para peneliti yang telah memberikan begitu sedikit perhatiannya mengenai
konsekuensi, agen perubahanpun juga sama. Mereka seringkali berasumsi bahwa
adopsi dari suatu inovasi yang diterapkan akan menghasilkan keuntungan semata
bagi para adopter yang mengadopsinya. Asumsi tersebut merupakan sebuah bias
pro-inovasi. Para agen perubahan akan menguraikan responsibilitasnya terhadap
berbagai konsekuensi dari sebuah inovasi yang mereka kenalkan. Mereka harus
dapat memprediksikan keuntungan dan kerugian suatu inovasi sebelum
memperkenalkan sebuah inovasi pada klien-kliennya, namun hal tersebut jarang
dilakukan oleh para agen.
Mempelajari
Konsekuensi
Konsekuensi
atau akibat dari sebuah inovasi belum dipelajari secara memadai karena beberapa
alasan berikut ini :
1. Setiap agen perubahan lebih menitikberatkan
pada adopsi saja, yang menganggap bahwa
inovasi akan mendatangkan akibat yang positif.
2.
Metode survey penelitian pada umumnya kurang tepat untuk mengungkapkan
berbagai konsekuensi atau berbagai akibat dari sebuah inovasi
3. Konsekuensi sulit untuk diukur.
2.2. Klasifikasi Konsekuensi Inovasi
1. Konsekuensi diharapkan dan tidak diharapkan
Konsekuensi
yang diharapkan adalah suatu inovasi yang mempunyai pengaruh fungsional sesuai
dengan keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak
diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal hal tersebut tidak
dikehendaki. Konsekuensi fungsional adalah akibat-akibat dari penyebaran suatu
inovasi dalam suatu sistem sosial yang sesuai dengan keinginan dari pengadopsi.
Akibat tersebut memiliki konotasi yang positif. Sebaliknya konsekuensi
disfungsional adalah akibat-akibat dari pengadopsian inovasi yang tidak
diinginkan oleh pengadopsi. Penentuan apakah suatu konsekuensi itu fungsional
atau disfungsional, tergantung bagaimana inovasi tersebut mempengaruhi
pengadopsi, kemudian waktu dimana ada saat tertentu mungkin belum dirasakan
akibatnya yang posifitif, tapi mungkin nanti akan dirasakan setelah beberapa
waktu.
Pada
kenyataannya, banyak inovasi memberikan konsekuensi yang positif dan negatif,
hal ini diakibatkan kekeliruan yang menganggap bahwa dampak yang diinginkat
dapat dicapai tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun
asumsi tersebut seringkali secara tidak disadari terjadi. Kesimpulan kita, bagaimanapun
juga, hal ini umumnya sulit atau mungkin mengatur pengaruh sebuah inovasi untuk
memisahkan innovasi yang diinginkan dari berbagai konsekuensi atau akibat yang
tidak diinginkan.
2. Konsekuensi langsung dan tidak langsung
Konsekuensi
langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu
atau suatu sistem sosial, sedangkan konsekuensi tidak langsung adalah inovasi
yang memberikan pengaruh yang tidak segera.
Konsekuensi
langsung suatu inovasi menghasilkan perubahan-perubahan sistem sosial yang terjadi
sebagai respon segera penyebaran suatu inovasi.
Konsekuensi
tidak langsung adalah perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang terjadi
sebagai hasil konsekuensi langsung suatu inovasi yang masih memerlukan upaya
tambahan dan prosesnya masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Konsekuensi
langsung sebuah inovasi merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial
yang terjadi secara langsung dari sebuah inovasi. Sedangan konsekuensi atau
akibat tidak langsung merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang
terjadi sebagai hasil dari konsekuensi langsung suatu inovasi.
3. Konsekuensi diantisipasi dan tidak
diantisipasi
Konsekuensi
yang diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan sebelumnya, sedangkan konsekuensi yang tidak
diantisipasi adalah dampak ikutan yang muncul kemudian setelah adopsi atau
menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif,
bisa pula bersifat negatif. Konsekuensi ini juga disebut sebagai konsekuensi
yang nampak dan yang latent
Konsekuensi
yang nampak adalah perubahan-perubahan yang terlihat dan dikehendaki oleh
anggota sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Contoh yang tanpak dari
suatu pengadopsian suatu inovasi misalnya : adanya pengembangan keterampilan
kerja baru bagi orang yang menerapkan
penggunaan gergaji mesin untuk
memotong kayu. Sedangkan konsekuensi yang latent adalah perubahan-perubahan
yang tidak tampak dan tidak dikehendaki oleh anggota suatu sistem sosial.
Semakin maju dan modern suatu inovasi, akan semakin banyak pula menghasilkan
konsekuensi baik konsekuensi yang nampak maupun yang tidak tampak.
Konsekuensi
yang terantisipasi merupakan perubahan yang berkenaan dengan inovasi yang
diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial.
Konsekuensi yang tidak terantisipasi merupakan perubahan dari sebuah inovasi
yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud oleh para anggota sistem
sosial.
Bentuk, Fungsi dan Makna suatu
Inovasi
Berbagai
konsekuensi inovasi yang tidak diinginkan, tidak langsung, dan tidak
terantisipasi pada umumnya terjadi secara bersamaan, dengan konsekuensi atau
akibat yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi. Kami menunjukan sebuah
ilustrasi dari generalisasi tersebut dalam memperkenalkan kampak baja atau alat
pemotong dari baja pada suku Aborogin Australian, yang membawa banyak
konsekuensi yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi, termasuk rincian
struktur keluarga, kemunculan prostitusi, dan “penyalahgunaan” innovasi itu
sendiri. Kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga intrinsik elemen
inovasi :
1. Bentuk, yang langsung secara fisik dapat
dilihat dan subtansi inovasi,
2.
Fungsi, kontribusi yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup
para anggota sistem sosial,
3.
Tujuan : persepsi inovasi yang subjektif dan disadari oleh para anggota
sistem sosial. Para agen perubahan lebih mudah dapat mengantisipasi bentuk dan
fungsi suatu inovasi untuk para kliennya dari pada tujuannya.
Mencapai Keseimbangan Dinamis
Dalam
menentukan tingkat perubahan yg ideal dalam sebuah sistem, konsep keseimbangan
harus dipertimbangkan. Stable equilibrium (keseimbangan yang stabil) terjadi
ketika hampir tidak ada perubahan pada struktur atau fungsi sistem sosial.
Sedangkan Dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis) terjadi ketika tingkat
perubahan dalam sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem untuk
menanganinya. Disequilibrium (ketidakseimbangan) terjadi ketika tingkat
perubahan terlalu cepat pada sistem sosial untuk menyesuaikan. Para agen perubahan
secara umum berharap mencapai tingkat perubahan yang membawa pada dynamic
equilibrium (keseimbangan dinamis), dan menghindari pada ketidakseimbangan atau
disequilibrium.
Sebagai
paradigma pembangunan yang dominan yang mulai dipertanyakan pada awal 1970 an,
dan berbagai macam alternatif paradigma pembangunan tersebut diungkapkan,
pentingnya keseimbangan sebagaimana pentingnya konsekuensi dari berbagai
aktivitas difusi mulai direalisasikan. Pertama tujuan dari program difusi
adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam sebuah sistem; namun yang kedua
dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi yang baik diantara para
anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang seimbang. Berbagai
konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperluas kesenjangan
sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan lamban mengadosi berbagai
katagori dalam suatu sistem. Selanjutnya, berbagai konsekuensi dari
pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara
orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang tinggi dan orang
yang status sosial ekonominy rendah.
Struktur
sistem sosial secara terpisah menentukan seimbang versus tidak seimbang dari
sebuah konsekuensi inovasi. Ketika sebuah struktur sistem dalam keadaan yang
begitu tidak seimbang, konsekuensi dari suatu inovasi (terutama jika inovasi
tersebut berkenaan dengan biaya yang tinggi) akan membawa keadaan yang sangat
tidak seimbang dalam bentuk kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi
apakah yang dapat dipakai untuk memperkecil kesenjangan ? jawabannya tergantung
pada tiga alasan utama mengapa kesenjangan sosial ekonomi meluas sebagai
konsekuensi dari inovasi : (1) “yang di atas” memiliki akses informasi yang
lebih banyak untuk menciptakan kesadaran mengenai inovasi; (2) mereka memiliki
akses informasi yang lebih banyak mengenai evalasi inovasi dari teman sejawat;
dan (3) “yang di atas” memiliki kurang lebih sumber daya untuk mengadopsi
inovasi dari pada yang “di bawah.”.
Ketika
upaya-upaya yang khusus diciptakan oleh seorang agen difusi, hal tersebut
mungkin untuk memperkecil, atau paling sedikit tidak memperluas, kesenjangan
sosial ekonomi dalam sistem sosial. Dengan kata lain, berbagai kesenjangan yang
melebar tidak terjadi.
Satu
peranan penting untuk penelitian difusi dimasa mendatang adalah mengungkapkan
berbagai strategi yang lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan diantara
para anggota sistem sosial. Hal ini baru, sulit dan peranan yang menjanjikan
untuk orang-orang yang mempelajari difusi.
2.3. Kesetaraan dalam Konsekuensi
Inovasi
Umumnya
salah satu cara yang dilakukan oleh agen perubahan dalam membentuk konsekuensi
inovasi adalah dengan saling bekerjasama. Jika agen perubahan menghubungi orang
yang lebih miskin dan berpendidikan rendah di masyarakat dari pada orang kaya,
tentunya suatu inovasi akan lebih berarti/bermakna. Namun terkadang, biasanya
agen perubahan lebih banyak menghubungi orang yang berpendidikan, memiliki
status sosial yang tinggi di masyarakat, dengan demikian hal tersebut cenderung
untuk memperluas kesenjangan sosial ekonomi melalui inovasi-inovasi yang mereka
memperkenalkan.
Difusi
dan inovasi secara umum menyebabkan dalamnya
tingkat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Meningkatnya
ketidaksetaraan dalam konsekuensi inovasi disebabkan karena :
1.
Inovator dan pengadopsi awal memiliki sikap yang menguntungkan terhadap
ide-ide baru dan mereka lebih cenderung mencari inovasi-inovasi secara aktif.
Mereka juga memiliki sumber daya yang tersedia untuk menerapkan inovasi biaya
yang lebih tinggi, sedangkan pengadopsi yang lain tidak.
2.
Agen-agen pembaharu professional cenderung memusatkan perhatian mereka
pada kontak-kontak klien mereka pada innovator dan adopter awal dengan harapan
bahwa pemimpin opini diantara katagori yang mengadopsi akan menyampaikan
gagasan baru yang telah mereka ketahui kepada para pengikut mereka dengan
proses yang merambat kebawah.
3.
Dengan mengadopsi inovasi relatif lebih awal daripada orang lain dalam
sistem sosial, inovator dan pengadopsi awal memperoleh keuntungan, sehingga
memperluas kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sebelum mengadopsi. Jadi
pengadopsi awal menjadi semakin kaya, bila dibandingkan dengan adaptor yang
lainya.
Komunikasi Mempengaruhi Kesenjangan
Sosial
Pengaruh
yang timbul dengan adanya aktivitas komunikasi secara umum merubah pengetahuan,
sikap atau perilaku seseorang. Komunikasi telah menimbulkan pengaruh yang cukup
besar terhadap individu lainnya.
Strategi untuk Memperkecil
Kesenjangan
Adapun
strategi yang dapat disusun berdasarkan alasan pokok tentang mengapa besarnya
kesenjangan sosial ekonomi akibat dari pengadopsian suatu inovasi diantaranya
adalah :
1.
“Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh
informasi yang menumbuhkan kesadaran tentang inovasi daripada “Kalangan Bawah”
a.
Pesan-pesan yang berlebihan atau yang kurang menarik dan/atau kurang
menguntungkan bagi audiens yang lebih tinggi sosial ekonominya, tetapi cocok
dan menarik bagi audiens yang lebih rendah sosial ekonominya, dapat disediakan.
Strategi ini memungkinkan audiens yang lebih rendah sosial ekonominya untuk
menyusul. Strategi ini dipakai dan berhasil dalam memperkecil kesenjangan
sosialekonomi di India melalui program TV bagi orang-orang desa.
b.
Seseorang dapat menyesuaikan pesan-pesan komunikasi terutama bagi
audiens yang lebih rendah sosioekonominya dalam arti ciri-ciri yang khas,
seperti pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi dan sejenisnya.
Bahan-bahan komunikasi sering tidak didesain secara khusus bagi derajat
kalangan ini, dan oleh karena itu sering kurang efektif. Sungguhpun isi pokok
dari pesan ini mungkin sama seperti bagi “Kalangan Atas”, untuk dapat lebih
efektif dalam mencapai audiens yang lebih rendah sosioekonomiknya maka desain
pesan, perlakuan dan presentasinya mungkin perlu berbeda; misalnya lebih banyak
garis yang digambarkan, fotografi dan alat bantu visual yang lain yang mungki
diperlukan disebabkan rendahnya pendidikan formal “Kalangan Bawah”.
c.
Seseorang dapat memgunakan saluran-saluran komunikasi yang secara khusus
dapat menyelusuri “Kalangan Bawah” sehingga akses bukanlah halangan untuk
memperoleh kesadaran pengetahuan akan inovasi. Misal; di Negara yang sedang
berkembang persentase “Kalangan Bawah” yang tidak dapat membaca, maka media cetak
tidak bermanfaat. “Kalangan Bawah” kemingkinan besar mengikuti siaran radio
daripada menonton TV. Selain itu komunikasi tradisional dapat dilakukan seperti
melalui pagelaran wayang, opera rakyat, bidan-bidan tradisional dan tempat
berkumpul seperti pasar, tempat ibadah, warung dan kedai. Media komunikasi yang
dapat dipercaya dan dapat diterima secara cultural khususnya sangat cocok bagi
audiens yang lebih rendah tingkat sosioekonomiknya dibanyak Negara (
Rogers,1977 ).
d.
“Kalangan Bawah” dapat diorganisir dalam kelompok kecil dimana mereka
dapat balajar tentang inovasi dan mendiskusikan ide baru. Seperti perkumpulan
wanita di Korea, sekolah radiofonik di Amarika Latin, dan koperasi.
e.
Konsentrasi kontak para agen pembaharu dapat dipisahkan dari inovator
dan adopter awal, yang juga telah dilakukan sebelumya terhadap mayoritas
kemudian dan yang paling terlambat.
2.
“Kalangan Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar bagi informasi inovasi-evaluasi dari teman-teman dibandingkan
dengan “Kalangan Bawah”
Jika
teori “trickle-down” ( menetes kebawah ) beroperasi secara pasti, maka
“Kalangan Bawah” akan segara cepat belajar dari “Kalangan Atas” dalam
mengadopsi inovasi dan secara cepat mengikutinya. Tetapi realitas dari jaringan
komunikasi dalam banyak system adalah bahwa “Kalangan Atas” berbicara dengan
“Kalangan Atas” dan “Kalangan Bawah” dengan “Kalangan Bawah” ( Rolling dkk,1976
). Bagaimana cara mengatasi masalah ini ?
a.
Pendapat pemuka di kalangan kelompok yang kurang beruntung dari suatu
system dapat diidentifikasikan dan kontak agen pembaharu dapat dipusatkan pada
mereka, jadi dapat mengingatkan teman-teman dalam hal inovasi.
b.
Pembantu-pembantu agen pembaharu yang dipilih dari "Kalangan Bawah”
dapat dipakai untuk menghubungi teman-teman yang homofili tentang inovasi
c.
Kelompok-kelompok formal diantara “Kalangan Bawah” dapat diorganisir
dengan memperlengkapi dengan kepemimpinan dan penguatan sosial dalam
pengambilan keputusan inovasi mereka. Kelompok itu memberikan kekuatan politik,
ekonomi dan sosial yang lebih besar.
3.
“Kalangan Atas” memiliki “slack resources” untuk mengadopsi inovasi dari
pada “Kalangan Bawah”
“Kalangan
Atas” selalu dapat mngadopsi inovasi, terutama jika ide baru itu mahal, secara
teknologis kompleks, dan jika mereka memberikan derajat ekonomi. Strategi apa
yang dapat membantu mengatasi tendensi pelebaran kesenjangan ini ?
a.
Prioritas dapat diberikan bagi pengembangan dan perekomendasian inovasi
yang sesuai bagi “Kalangan Bawah” agar teknologi yang cocok dapat diperoleh.
b.
Suatu organisasi dapat diadakan pada tingkat local agar “Kalangan Bawah”
dapat memperoleh persamaan dengan “Kalangan Atas” dalam memiliki “Slack
Resources” yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi tertentu yang mahal.
c.
Suatu sarana harus diadakan agar supaya “Kalangan Bawah” dapat
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program difusi, termasuk
menyusun program. Strategi partisipasi ini dapat menjadikan kebutuhan dan
masalah diketahui oleh para pengurus dalam suatu lembaga pembaharuan.
d.
Lembaga-lembaga pembaharu tertentu dapat dimantapkan untuk bekerja hanya
dengan “Kalangan Bawah” dengan demikian memungkinkan agen pembaharu menemukan
kebutuhan tertentu dari “Kalangan Bawah” (kredit pertanian).
e.
Tekanan harus digeser dari mendifusikan inovasi yang berasal dari
Litbang Formal ke informasi yang menyebar tentang ide berdasarkan pengalaman
melalui system difusi yang lebih didesentralisasikan.
2.4.
Konsekuensi Inovasi dalam Bidang Pendidikan
Penerapan
inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam
bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau
area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan. Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi
pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah. Pada tataran ini
inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena mengarah pada sistem.
Selain
itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep
pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini
menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang
membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter
dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning.
Penerapan
inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang
lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa
proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi
hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted
Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan
edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat
laboratorium yang berkualitas.
Salah
satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan adalah pemanfaatan sarana
teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Ketika segelintir sekolah sudah
masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan inovasi teknologi, sebagian
besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh dari akses teknologi
informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih amat minim bahkan
tidak ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan atau keberanian untuk
menggunakan teknologi komputer dan internet. Tentu saja kesenjangan dalam
aksebilitas antara siswa-siswa dari sekolah mampu dengan siswa-siswa dari
sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan yang tidak seimbang antara
anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan
merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan perencanaan
anggaran pendidikan.
Implikasi
lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal,
dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak
situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak
dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas.
Proses pembelajaran di dunia maya – yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir
sekolah – tidak mengenal batasan formal dan nonformal. Beberapa situs
menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya,
ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan bisa
diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak.
Padahal tidak banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi
cukup baik atau tidak punya cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi
pengarahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi
rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi
informasi.
Perubahan
kurikulum atau metode pembelajaran yang terintegrasi dengan Teknologi Informasi & Komunikasi dapat
menjadi alternatif menjembatani guru dan siswa untuk lebih ramah dan sehat
memanfaatkan teknologi.
Namun
pada kenyataannya, tidak selalu inovasi dapat diterima. Beberapa kasus
menunjukkan pelaksana inovasi cenderung resisten terhadap inovasi.
Ada
beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para
pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:
1. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam
proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut,
sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan
miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan,
karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.
2. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode
yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah
mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem
yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan
serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka Hal senada diungkapkan pula Day
dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada.
3. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang
lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat
kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga
diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between
teacher's intention and practice is important barrier to the success of the
innovatory program".
4. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan
yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala
sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa
terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah
tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa
melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak
punya wewenang untuk merubahnya.
5. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat
besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat,
yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.
BAB III
PENUTUP
Inovasi
pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi
harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator,
penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan
inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi
juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang
berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti
guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun
pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model
dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena
para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai
pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab
terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.
Daftar
Pustaka
Diffusion
of Innovations, The Free Press, N.Y., Rogers, Everet M. (1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar